Di antara perwujudan nyata iman kepada Allah dalam hal rezeki, ialah senantiasa menyebut nama Allah Ta’ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya, misalnya ketika makan:
عن عَائِشَةَ رضي الله عنها أن النبي صلّى الله عليه وسلّم كان يَأْكُلُ طَعَاماً في سِتَّةِ نَفَرٍ من أَصْحَابِهِ فَجَاءَ أعرابي فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ فقال النبي صلّى الله عليه وسلّم : (أَمَا إنه لو كان ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ). رواه أحمد والنَّسائي وابن حبان
“Dari sahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab Baduwi, lalu ia menyantap makanan beliau dalam dua kali suapan. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ketahuilah, seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Basmallah-pen.), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian.’” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Hibban).
Pada hadits lain Nabi bersabda,
أَمَا إِنَّ أَحَدَكُمْ إذا أتى أَهْلَهُ وقال: بِسْمِ اللَّهِ اللهم جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ ما رَزَقْتَنَا، فَرُزِقَا وَلَدًا، لم يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ. رواه البخاري
“Ketahuilah, bahwa salah seorang dari kamu bila hendak menggauli istrinya ia berkata, ‘Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami.’, kemudian mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari hubungan tersebut-pen) niscaya anak itu tidak akan diganggu setan.” (HR. Bukhary).
Demikianlah peranan iman kepada Allah, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak menggunakan suatu kenikmatan dalam mendatangkan keberkahan pada harta dan anak keturunan.
Sebaliknya, ingkar terhadap Allah Ta’ala, dan beranggapan bahwa rezeki dan keberhasilan adalah hasil dari kecerdasan dan kerja keras kita, menjadi penyebab hancurnya segala kenikmatan.
Apa yang menimpa umat manusia sekarang ini, berupa krisis ekonomi global, merupakan bukti baru akan hal ini.
Beberapa waktu silam, umat manusia dibuat terpana oleh kehebatan dunia barat. Oleh karenanya, dunia barat oleh banyak umat Islam dinobatkan sebagai kiblat perekonomian.
Akan tetapi, krisis ekonomi global yang sedang diderita oleh umat manusia saat ini, dan yang bermula dari negara adidaya, yaitu Amerika menjadikan umat manusia kembali berpikir dan bertanya. Ada apa dan mengapa petaka dahsyat ini dapat menimpa negara-negara barat? Bukankah perekonomian mereka telah maju, teknologi mereka canggih, birokrasi mereka rapi dan pelaku ekonomi mereka handal nan cerdas?
Beribu-ribu tanda tanya dan rasa heran terus menghinggapi benak umat manusia saat ini.
Kejadian ini, kembali mengingatkan kita akan kisah yang pernah terukir dalam lembaran sejarah umat manusia. Kisah tersebut adalah kisah seorang pengusaha dan sekaligus pakar ekonomi ternama zaman dahulu. Ketokohan orang tersebut -menurut banyak orang- benar-benar fenomatis dan legendaris, sampai-sampai namanya diabadikan hingga zaman sekarang. Tokoh tersebut adalah Karun, konglomerat nomor satu yang hidup di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam.
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ. القصص: 76
“Sesungguhnya Karun adalah salah seorang kaum Nabi Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya kekayaan, yang kunci-kuncinya sungguh berat untuk dipikul oleh sejumlah orang yang gagah perkasa“. (Qs. al-Qashash: 76).
Karun adalah ikon pengusaha sukses, cerdas nan kaya raya. Karun begitu sukses dan kaya, sampai-sampai kebanyakan orang mengimpi-impikan untuk mengikuti jejaknya, menjadi kaya raya. Betapa tidak, kekayaannya begitu melimpah ruah, sampai-sampai sejumlah orang yang gagah perkuasa merasa keberatan untuk memikul kunci-kunci gudangnya. Padahal, setiap gudang hanya memiliki satu pintu dan satu kunci, dan masing-masing kunci hanya sebesar jari manusia.
Menurut sebagian ulama ahli tafsir, kunci-kunci gudang Karun hanya bisa dibawa minimal oleh enam puluh keledai (Tafsir ath-Thabari, 20/106-107).
Bahkan hingga saat ini, banyak dari kita yang mendambakan untuk mendapatkan, walau hanya sedikit dari sisa-sisa harta peninggalannya; “harta karun”.
قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ. القصص: 79
“Orang-orang yang mendambakan kehidupan dunia berkata, ‘Semoga kiranya kita mempunyai (kekayaan) seperti yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mendapatkan keberuntungan yang besar.’” (Qs. al-Qashash: 79).
Karun merasa, bahwa ia berhasil dan sukses dalam perniagaannya karena kehebatan dan kecerdasannya sendiri. Oleh karena itu, tatkala ia ditegur dan dikatakan kepadanya,
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ. القصص: 77
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri di akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan kehidupan dunia, dan berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. al-Qashash: 77).
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A
Artikel www.PengusahaMuslim.com